Dec 12, 2024 | Author: A.A.B.N.A. Surya Putra & Farah Nadiyah | Reading time: 5 minutes
“Namun, dengan adanya joint statement pada 9 November berarti Indonesia telah mengakui klaim sepihak China atas Sepuluh Garis Putus-putus. Perlu dipahami joint development hanya terjadi bila setiap negara saling mengakui adanya zona maritim yang saling bertumpang tindih,”
—Hikmahanto Juwana, Guru Besar Hukum Universitas Indonesia, dilansir dari Kompas.id.
Laut China Selatan (“LCS”) adalah kawasan strategis yang sering menjadi sumber ketegangan internasional. November ini, posisi Indonesia menjadi sorotan setelah penerbitan joint statement dengan Republik Rakyat China (“China”). Langkah ini memunculkan kekhawatiran bahwa Indonesia secara tidak langsung mengakui klaim sepihak China atas Sepuluh Garis Putus-Putus. Apakah pernyataan bersama ini memiliki konsekuensi hukum? Artikel ini akan membahasnya dengan merujuk pada Vienna Convention on the Law of Treaties 1969 (“VCLT”) dan beberapa kasus internasional.
Sekilas tentang Hukum Perjanjian Internasional
VCLT adalah landasan hukum utama yang mengatur tentang perjanjian internasional. Menurut ketentuannya, perjanjian internasional harus berbentuk tertulis, tanpa memandang jenis atau nama dokumennya. Dokumen ini dapat berupa traktat, konvensi, deklarasi, atau bahkan press release—nama hanya mencerminkan praktik diplomatik negara-negara, bukan substansi hukumnya.
VCLT sendiri tidak membatasi status perjanjian internasional hanya berdasarkan namanya. Hal ini membuka peluang bahwa berbagai bentuk dokumen, termasuk joint statement, dapat dianggap sebagai perjanjian internasional. Namun, apakah Joint Statement Indonesia-China dalam hal ini dapat dianggap mengikat secara hukum dan oleh karena hal tersebut memiliki dampak hukum?
Analisis Kasus tentang Penamaan Instrumen Perjanjian Internasional
Mahkamah Internasional (International Court of Justice/“ICJ”) telah memberikan berbagai preseden penting terkait isu penamaan dan kekuatan mengikat perjanjian internasional. Salah satunya dalam kasus Aegean Sea (1978), di mana ICJ menyatakan bahwa joint communiqué dapat dianggap sebagai perjanjian internasional yang mengikat. Putusan ini menegaskan bahwa hukum internasional tidak membatasi bentuk atau nama dokumen yang dapat memiliki konsekuensi hukum.
Dalam kasus Qatar v. Bahrain (1994), ICJ menegaskan bahwa nama dokumen bukan penentu status perjanjian internasional. Berbagai bentuk dokumen, seperti pertukaran nota diplomatik (exchanges of notes) dan risalah pertemuan (minutes of meeting), dapat dianggap sebagai perjanjian yang mengikat jika diikuti tindakan lanjutan dari para pihak sesuai dengan apa yang termuat di dalamnya. Misalnya, dalam dokumen-dokumen tersebut, Qatar dan Bahrain menyatakan komitmen untuk mencari solusi damai yang akan ditempuh. Tindakan lanjutan mereka memperkuat status dokumen tersebut sebagai perjanjian yang mengikat, termasuk keputusan untuk melibatkan Saudi Arabia sebagai mediator dan menyerahkan kasus mereka sepenuhnya ke ICJ. Hal ini menunjukkan bahwa isi dokumen bukan hanya pernyataan tertulis, tetapi juga diwujudkan melalui tindakan nyata kedua pihak.
Pendekatan alternatif dapat dilihat pada kasus Pulp Mills (2010) antara Argentina dan Uruguay. Dalam kasus ini, ICJ menyimpulkan bahwa meskipun dokumen seperti ‘Understanding’ dan ‘Press Release’ sering dianggap informal, keduanya dapat dianggap sebagai instrumen hukum yang mengikat. Keputusan ini didasarkan pada penggunaan kata yang menunjukkan bahwa para pihak sepakat untuk terikat pada ketentuan tersebut dan harus menjalankannya dengan itikad baik.
Secara normatif, joint statement tidak bersifat mengikat karena tidak ada bukti yang cukup untuk menyatakan bahwa dokumen tersebut memberikan kewajiban hukum bagi para pihak. Niat para pihak untuk terikat adalah hal yang sangat penting. Oleh karena itu, joint statement ini tidak menghasilkan implikasi hukum secara eksplisit. Meskipun demikian, tindakan lanjutan oleh para pihak dapat menunjukkan niat mereka untuk terikat pada ketentuan yang tercantum.
Merujuk pada kasus Pulp Mills, ada beberapa cara penggunaan kata dalam instrumen hukum internasional yang menunjukkan apakah suatu perjanjian mengikat. Instrumen yang tidak mengikat sering menggunakan kata seperti ‘intends’ (‘The statement intends to…’) atau ‘may’ (‘The participants may…’). Sebaliknya, instrumen yang mengikat biasanya menggunakan kata seperti ‘shall’ (‘The parties shall comply with…’) atau ‘undertakes’ (‘The Government undertakes…’).
Terlepas dari penggunaan kosa kata yang identik digunakan untuk menyatakan keinginan terikat, penekanan pada tindakan yang dilakukan para pihak, setelah joint statement dibuat dapat juga menghasilkan “dampak atau ikatan” hukum de facto. Dampak de facto tersebut merupakan hasil dari itikad baik para pihak untuk menghormati isi dari joint statement dengan mengadaptasi roh dari dokumen tersebut ke dalam instrumen nasional yang dapat berlaku sebagai hukum yang mengatur.
Sebagai referensi, di tahun 2014, China, Jepang, Korea, dan Taipei mengeluarkan joint statement terkait konservasi Belut Jepang. Kazuki Hagiwara (2023) memberikan analisis terhadap joint statement tersebut, di mana secara formal, tidak dapat dipungkiri bahwa dokumen tersebut tentu bukanlah instrumen hukum internasional. Hal tersebut dikuatkan oleh pemilihan penggunaan kosa kata, tidak adanya pernyataan eksplisit yang menimbulkan perikatan, serta keterlibatan China dan Taipei sebagai peserta dalam satu kesepakatan. Namun dalam praktiknya, keempat peserta joint statement tersebut menyesuaikan kebijakan dan hukum nasional mereka terhadap poin-poin yang tercantum dalam joint statement, yang menunjukkan bahwa mereka sepakat untuk melaksanakan komitmen tersebut. Hal ini lah yang disimpulkan oleh Hagiwara sebagai “ikatan de facto” dari instrumen yang tidak mengikat.
Analisis terhadap Joint Statement Indonesia-China
Dalam menganalisis sifat mengikat Joint Statement Indonesia-China, kita dapat memperhatikan kata-kata yang digunakan sebagai salah satu bahan pertimbangan. Misalnya, pada Poin 10 paragraf 3, terdapat kalimat ‘Both parties recognize the importance of the 2007 Defense Cooperation Agreement and have agrees to further strengthen bilateral defense cooperation…’ Karena mengakui ketentuan hukum internasional yang mengikat, maka pernyataan ini dapat dianggap sebagai joint statement yang mengikat.
Kedua, pada Poin 7 dan 10, terdapat kalimat ‘Both sides agreed to promote…’ yang menunjukkan kerancuan dalam sifat mengikat karena penggunaan kata ‘sides’ daripada ‘parties’ Untuk menentukan apakah pernyataan ini mengikat, diperlukan analisis lebih lanjut terhadap tindakan lanjutan yang diambil para pihak di masa depan.
Ketiga, pada Poin 9, terdapat kalimat ‘The two countries announced that in accordance with the principle of government facilitation and market operation,…’ Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah pernyataan ini merujuk pada sumber hukum internasional yang mengikat. Untuk menjawabnya, perlu dianalisis apakah prinsip yang diklaim sesuai dengan ketentuan hukum internasional yang diakui, seperti yang tercantum pada Pasal 38(1) Statuta ICJ. Selain itu, apakah ada tindakan lanjutan yang dapat mengkonfirmasi efek hukum hukum dari joint statement tersebut.
Berdasarkan ketiga analisis tersebut dan praktik hukum internasional mengenai mengenai hukum perjanjian, Joint Statement Indonesia-China mengandung pernyataan yang kompleks dengan makna yang berbeda-beda terkait status mengikatnya. Penggunaan bahasa dalam dokumen ini mencakup kalimat yang mengikat, tidak mengikat, dan ambigu. Dalam praktik hukum perjanjian internasional, penggunaan bahasa lebih penting daripada penamaan dokumen itu sendiri. Selain itu, substansi dokumen dan niat para aktor saat membuatnya menjadi faktor yang sangat penting untuk dipertimbangkan.
Pada akhirnya, apakah Joint Statement Indonesia-China dapat menimbulkan dampak hukum? Jawabannya bergantung pada tindakan lanjutan yang diambil oleh kedua negara. Oleh karena itu, penting untuk memantau perkembangan hubungan ini, karena dokumen tersebut walaupun secara normatif merupakan instrumen yang tidak mengikat, suatu saat dapat memiliki dampak hukum de facto.