Perjanjian vs Akta Autentik: Bedanya Saat Bicara di Sidang
Perjanjian vs Akta Autentik: Bedanya Saat Bicara di Sidang
May 20, 2025 | Author: Mandara School of Law & Public Policy | Reading time: 5 minutes
Daftar Isi
Perjanjian
Syarat Sah Perjanjian
Alat Bukti dalam Pengadilan
Akta Autentik
Kekuatan Pembuktian Akta Autentik
Perjanjian
Mengutip Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”), perjanjian didefinisikan sebagai peristiwa persetujuan antara satu orang subjek hukum atau lebih mengikatkan dirinya terhadap salah satu atau lebih subjek hukum lainnya. Persetujuan ini memuat suatu kesepakatan atau hal yang diperjanjikan.
Syarat Sah Perjanjian
Pasal 1320 KUH Perdata dikenal luas sebagai pedoman utama mengenai syarat sahnya suatu perjanjian. Menurut ketentuan ini, suatu perjanjian yang sah harus memenuhi empat unsur pokok:[1]
kesepakatan para pihak, yakni adanya persetujuan yang bebas dan sadar antara pihak-pihak yang mengadakan perjanjian;
kecakapan para pihak, yaitu kemampuan hukum para pihak untuk melakukan tindakan hukum, seperti sudah dewasa dan tidak berada dalam keadaan tidak cakap menurut hukum;
suatu hal tertentu yang diperjanjikan, yaitu adanya objek perjanjian yang jelas, baik berupa penyerahan sesuatu, melakukan sesuatu, atau tidak melakukan sesuatu;
sebab yang halal, artinya tujuan perjanjian tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, maupun ketertiban umum.
Meskipun keempat unsur tersebut telah terpenuhi, perjanjian belum tentu memiliki kekuatan pembuktian yang optimal di hadapan hukum, khususnya dalam konteks pembuktian di persidangan. Oleh karena itu, aspek formalitas melalui akta autentik menjadi relevan untuk memperkuat posisi hukum perjanjian tersebut.
Alat Bukti dalam Pengadilan
Pada dasarnya, terdapat lima alat bukti dalam hukum acara perdata, yakni surat, saksi, persangkaan, pengakuan, dan sumpah. Dalam konteks hukum pembuktian dalam peradilan perdata, akta autentik termasuk ke dalam alat bukti surat. Dalam hal ini, akta autentik merupakan suatu tulisan yang diberi tanda tangan yang memuat peristiwa yang menjadi dasar daripada suatu hak atau perikatan yang sejak awal dibuat untuk suatu pembuktian.[2]
Akta Autentik
Merujuk pada Pasal 1868 KUH Perdata, akta autentik didefinisikan sebagai “akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu tempat di mana akta atau perjanjian dibuat.”
Lebih lanjut, Pasal 1870 KUH Perdata mengatur bahwa akta autentik memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna mengenai apa yang tercantum di dalamnya, sampai ada pembuktian sebaliknya.
Agar suatu perjanjian dapat berstatus autentik, harus dipenuhi dua syarat utama:
Dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan;
Dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang, seperti notaris.
Dalam praktik, notaris berperan sebagai pejabat umum yang diberi wewenang untuk membuat akta-akta autentik.[3] Oleh karena itu, akta yang dibuat di hadapan notaris terikat dalam kerangka hukum perdata, khususnya dalam aspek hukum pembuktian.
Kekuatan Pembuktian Akta Autentik
Berdasarkan Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, akta autentik memiliki derajat pembuktian yang terkuat dan terpenuh sebagai alat bukti dalam hukum acara perdata. Ini berarti bahwa isi akta autentik dianggap memuat kebenaran formal tentang apa yang dinyatakan atau diperbuat oleh para pihak sebagaimana disampaikan kepada notaris, selama tidak terbukti sebaliknya.
Kebenaran formal yang dimaksud di sini adalah kebenaran mengenai pernyataan para pihak, bukan kebenaran materiil atas isi dari pernyataan itu sendiri. Oleh karena itu, sepanjang tidak ada bukti yang membantah, pengadilan wajib menerima dan memercayai keterangan yang termuat dalam akta autentik.
Memenuhi keempat syarat sah perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata memang menjadi pondasi awal keabsahan perjanjian dalam hukum Indonesia. Namun, dalam praktiknya, pemenuhan syarat ini saja tidak cukup untuk menjamin perlindungan hukum yang optimal, terutama dalam konteks pembuktian di muka pengadilan.
Di sinilah pentingnya akta autentik sebagai instrumen hukum yang memberikan derajat pembuktian tertinggi. Dengan dituangkan dalam akta autentik yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang, seperti notaris, perjanjian tersebut tidak hanya sah secara hukum, tetapi juga lebih kuat diakui, dipertahankan, dan dibuktikan di hadapan pengadilan.
Dengan demikian, untuk menjamin efektivitas dan kekuatan hukum suatu perjanjian, para pihak perlu tidak hanya berfokus pada terpenuhinya syarat-syarat sah, tetapi juga mengutamakan penuangan perjanjian ke dalam bentuk akta autentik.
Referensi
[1] Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”), Pasal 1320.
[2] Tim Hukum Online. “5 Alat Bukti dalam Hukum Acara Perdata.” (2024). Hukumonline.com, https://www.hukumonline.com/berita/a/alat-bukti-dalam-hukum-acara-perdata-lt63d484231db8b/?page=1, diakses pada 30 April 2025.
[3] Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Pasal 1 angka 1. Lihat juga, Pasal 15 ayat (1) yang menegaskan bahwa “Notaris berwenang membuat akta autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta autentik, …”